IMAM KESEBELAS: IMAM HASAN ASKARI AS


Imam Hasan Askari lahir pada tanggal 8 bulan Rabiuts Tsani tahun 232 Hijriah di Madinah. Namanya Hasan, nama ayahnya Ali bin Muhammad, dan nama ibunya Hadis atau Susan. Kunyah-nya adalah Abu Muhammad dan laqab-nya adalah Shamit, Hadi, Rafiq, Zaki, Naqi, Khalish, dan Askari. Beliau meninggal pada tanggal 8 Rabiuts Tsani tahun 260 Hijriah di Sarro Man Ra’a dan jasadnya yang suci dimakamkan di sisi makam ayahnya. Saat itu, kira-kira usianya telah berlalu 28 tahun dan masa imamah-nya adalah enam tahun.*


Nash-Nash Imamah

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalil-dalil dan burhan imamah terbagi menjadi dua: pertama, dalil-dalil umum yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah. Jenis dalil ini secara terperinci telah dibahas; kedua, dalil-dalil khusus yang dibuat untuk membuktikan imamah tiap-tiap imam secara khusus, seperti nash-nash yang dikeluarkan oleh setiap imam untuk imam selanjutnya. Kami di sini hanya menyebutkan nash-nash yang kedua.
Abduladzim bin Abdullah Hasani berkata, “Suatu hari, aku menjumpai Ali bin Muhammad. Beliau berkata, “Marhaban wahai Abu Qasim! Engkau adalah sahabat sejati kami.” Kemudian aku berkata, Wahai putra Rasulullah! Aku ingin mengutarakan agamaku kepadamu. Jika disukai olehmu, aku akan tetap dengan agama itu hingga mati.” Kemudian Imam berkata kepadaku, “Katakan wahai Abu Qasim!” Aku berkata, “Aku meyakini Tuhan yang satu dan tidak ada yang menyerupai-Nya.” Kemudian aku mengatakan, “Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah serta penutup para nabi. Sepeninggalnya hingga hari kiamat, tidak akan ada nabi yang diutus. Imam dan khalifah serta wali amr setelah Nabi saw adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan setelahnya, adalah Hasan dan setelah itu, Husain, dan setelah itu, Ali bin Husain, dan setelah itu, Muhammad bin Ali, dan setelah itu, Ja’far bin Muhammad dan setelah itu, Musa bin Ja’far, dan setelah itu, Ali bin Musa, dan setelah itu, Muhammad bin Ali dan setelah itu, engkau adalah imam.”
Ali bin Muhammad berkata, “Dan setelahku, adalah putraku, Hasan, sebagai imam. Maka, bagaimana umat nanti berkaitan dengan kepemimpinannya?” Aku berkata, “Wahai tuanku beritahukan kepadaku bagaimana keadaannya?” Beliau berkata, “Ia tidak akan terlihat dan penyebutan namanya akan diharamkan hingga ia keluar dan memenuhi bumi dengan keadilan dan kesejahteraan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman.”
Setelah itu, Imam Ali bin Muhammad berkata, “Wahai Abu Qasim! Demi Allah, Islam adalah agama Allah yang dipilih-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Teguhkan hatimu pada agamamu itu! Semoga Allah meneguhkanmu di dunia dan akhirat pada akidah ini.” *
Abu Hasyim Dawud bin Qasim Ja’fari mengatakan, “Aku mendengar dari Abu Hasan Shahib Askar yang berkata, “Penggantiku adalah putraku, Hasan. Lalu, bagaimana kalian berhubungan dengan pengganti setelah putraku?” Aku berkata, “Nyawaku kukorbankan untukmu! Mengapa?” Beliau berkata, “Sebab tiada seorang pun yang melihatnya dan kalian juga dilarang menyebut namanya.” Aku berkata, “Lalu bagaimana kita menyebut namanya?” Beliau menjawab, “Katakan hujjah putra hujjah!”*
Shaqar bin Abi Dalaf berkata, ” Setelah Mutawakkil menarik Abu Hasan ke Baghdad, aku pergi untuk memperoleh berita darinya. Mutawakkil memandangku dan berkata, “Duduklah!” Berbagai jenis pikiran menghujamku dan aku berkata kepada diriku sendiri, “Betapa salahnya aku datang kemari!” Mutawakkil mengisyaratkan kepadaku agar aku keluar. Kemudian ia berkata kepadaku, “Dengan tujuan apa engkau datang kemari?” Aku berkata, “Aku memiliki maksud baik.” Ia berkata, “Mungkin engkau datang untuk melihat tuanmu?” Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Siapakah maula-ku?” Ia berkata, “Diamlah! Maula-mu benar! Janganlah takut! Aku juga berada di atas agamamu.” Aku berkata, “Alhamdulillah.” Ia berkata, “Apakah engkau ingin bertemu dengan maula-ku?” Aku berkata, “Ya.” Ia berkata, “Duduklah sampai pengantar surat keluar!”
Ketika keluar, ia berkata kepada ghulam-nya ‘budak’, “Ambillah tangan Shaqar dan bawalah dia ke kamar tempat seorang Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib) dipenjarakan dan biarkanlah mereka berdua!”
Shaqar berkata, “Budak itu membawaku ke sebuah kamar dan kemudian keluar. Aku melihat Abu Hasan sedang duduk di atas tikar dan di hadapannya, ada sebuah lubang kubur yang telah digali. Aku bersalaman dengannya dan duduk. Beliau berkata, “Wahai Shaqar! Mengapa engkau datang kemari?” Aku berkata, “Aku datang untuk mengetahui keadaanmu.” Selanjutnya, aku memandang ke lubang kubur dan menangis. Imam memandangku dan berkata, “Wahai Shaqar! Janganlah bersedih! Engkau tidak akan mengalami marabahaya.” Aku berkata, “Alhamdulillah.” Selanjutnya aku berkata, “Maula-ku! Telah diriwayatkan sebuah hadis yang aku tidak memahami maknanya bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Janganlah engkau memusuhi hari-hari karena nanti hari-hari akan berbalik memusuhimu.” Apakah makna hadis ini?” Beliau mengatakan, “Langit dan bumi berdiri berkat wujud kami. Sabt ‘sabtu’ adalah nama Rasulullah saw dan ahad adalah Amirul Mukminin dan itsnain adalah Hasan dan Husain sedangkan tsulatsa adalah Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, dan Ja’far bin Muhammad. Arbia’ adalah Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, dan aku sendiri. Khumais adalah putraku Hasan dan Jumu’ah adalah putra Hasan. Di sekitarnyalah, akan berkumpul kelompok penuntut kebenaran dan dialah yang memenuhi bumi dengan keadilan dan kesejahteraan setelah bumi, sebelumnya, dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan. Inilah makna hari-hari. Maka, janganlah kalian memusuhi hari-hari sebab pada hari kiamat nanti, mereka akan menjadi musuhmu.” Setelah itu, beliau berkata kepadaku, “Wahai Shaqar! Ucapkanlah selamat tinggal kepadaku dan pergilah karena engkau tidak dalam keadaan aman di sini!”*
Shaqar bin Abi Dulaf berkata, “Aku mendengar dari Ali bin Muhammad bin Ali yang berkata, “Setelahku, Hasan, putraku, adalah imam dan setelah Hasan, putranya adalah qaim yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan.”*

Yahya bin Yasar berkata, “Abu Hasan Ali bin Muhammad pada empat bulan sebelum wafatnya berwasiat kepada putranya, Hasan, dan mengisyaratkan bahwa sang putra adalah imam setelahnya dan sekelompok lainnya dari orang-orang dekatnya dijadikannya sebagai saksi.”*
Ali bin Umar Nufali berkata, “Aku berada di rumah Abu Hasan. Kemudian putranya, Muhammad, lewat di sisi kami. Aku berkata, “Kukorbankan diriku untukmu! Apakah Muhammad adalah imam kami sepeninggalmu nanti?” Beliau menjawab, “Tidak. Imam kalian setelahku adalah Hasan.”*
Abdullah bin Muhammad Isfahani berkata, “Abu Hasan berkata kepadaku, “Imam kalian setelahku adalah orang yang nanti mendirikan shalat jenazahku.” Hal ini diucapkan beliau manakala Abu Muhammad belum dikenal dan diketahui. Setelah Abu Hasan wafat, putranya, Abu Muhammad, mendirikan shalat jenazahnya.”*
Ali bin Ja’far berkata, “Waktu itu aku berada di sisi Abu Hasan. Kemudian putranya, Muhammad, meninggal dunia. Imam berkata kepada putranya, Hasan, “Putraku! Bersyukurlah kepada Allah karena Dia menetapkan perkara imamah kepada dirimu.”*
Ahmad bin Muhammad bin Abdillah bin Marwan berkata, “Tatkala Abu Ja’far Muhammad bin Ali meninggal, aku hadir. Abu Hasan datang dan disediakan kursi untuk tempat duduknya. Kemudian beliau duduk sedangkan Ahlulbaitnya berada di sekelilingnya. Putra Abu Hasan, Abu Muhammad, juga berdiri di salah satu sudut ruangan. Setelah mengafani dan mengebumikan Abu Ja’far, Abu Hasan memandang putranya, Abu Muhammad, dan berkata, “Anakku! Bersyukurlah kepada Allah sebab Dia telah menetapkanmu sebagai imam.”*
Ali bin Mahziyar berkata, “Aku berkata kepada Abu Hasan, “Apabila -semoga dijauhkan oleh Allah- terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri Anda, kepada siapakah kami akan merujuk?” Beliau berkata, “Imamah akan jatuh ke pundak putraku yang paling besar, Hasan.”*
Ali bin Amer Athar berkata, “Aku tiba di sisi Abu Hasan dalam keadaan putranya, Abu Ja’far, masih hidup dan kami berpikir bahwa Abu Ja’far-lah yang menjadi pengganti ayahnya nanti. Aku bertanya, “Kepada putramu yang manakah nanti kami akan merujuk sepeninggalmu?” Beliau menjawab, “Untuk sementara ini, janganlah berpikir untuk itu dahulu hingga datang petunjuk dari Allah.” Ali bin Amer berkata, “Beberapa lama setelah itu, aku menulis surat kepada beliau, “Kepada siapakah jabatan imamah akan jatuh?” Sebagai jawaban terhadap suratku itu, beliau menulis, “Kepada anakku yang paling besar dan Abu Muhammad adalah lebih besar daripada Abu Ja’far.”*
Sa’ad bin Abdillah menukil dari sekelompok Bani Hasyim, di antaranya adalah Hasan bin Husain Afthas, bahwa sepeninggal Muhammad bin Ali bin Muhammad, “Kami hadir di rumah Abu Hasan. Sebuah permadani terhampar di ruangan rumah Imam dan hadirin duduk di sekeliling beliau. Kami memperkirakan jamaah yang hadir dari Bani Abbas dan Bani Ali bin Abi Thalib sekitar seratus lima puluh orang, terkecuali para budak dan masyarakat lainnya.
Di saat itu, Hasan bin Ali, yang dalam keadaan dikelilingi banyak orang, tiba di majelis dan duduk di sebelah kanan ayahnya. Abu Hasan memperhatikannya dan berkata, “Anakku! Bersyukurlah kepada Allah karena Dia menetapkan perkara imamah pada dirimu.”*
Kemudian Hasan menangis dan mengucapkan kalimar istirja’ (inna lillahi wainna ilaihi rajiun). Ia berkata, Kami bertanya, “Siapakah dia?” Dijawab, “Putranya, Hasan. Sepertinya ia berusia dua puluh tahun. Di sinilah, kami pertama kali mengenalinya dan memahami bahwa Abu Hasan melantiknya sebagai imam sepeninggalnya nanti.”*
Muhammad bin Yahya mengatakan, “Sepeninggal Abu Ja’far, aku berjumpa dengan Hadrat Abu Hasan dan aku mengucapkan belasungkawa atas kematian putranya. Dalam keadaan ketika Abu Muhammad duduk di sisinya dan menangis, Abu Hasan memperhatikannya dan berkata, “Allah swt menjadikanmu sebagai penggantinya. Maka, bersyukurlah kepada Allah.”*
Syahuwiyah bin Abdullah berkata, “Abu Hasan menulis kepadaku, “Engkau ingin bertanya tentang siapakah penggantiku setelah Abu Ja’far dan engkau khawatir. Namun, jangan engkau bimbang karena Allah swt tidak akan menyesatkan orang yang diberi-Nya petunjuk. Imammu adalah Abu Muhammad. Semua ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia berada di sisinya. Allah swt akan mendahulukan dan mengakhirkan siapa saja yang dikehendakinya , Ayat mana saja yang Kami
hapuskan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.

Keutamaan dan Kemuliaan
Syaikh Mufid menulis, “Setelah Abu Hasan, Ali bin Muhammad menunjuk putranya, Abu Muhammad Hasan bin Ali sebagai imam karena semua keutamaan berkumpul padanya. Dalam kaitan dengan apa yang menyebabkan kelayakan menjadi imam dan pemimpin, seperti ilmu, zuhud, kesempurnaan, akal, ishmah, keberanian, kedermawanan, banyaknya ibadah, Abu Muhammad lebih unggul daripada masyarakat di zamannya. Selain dari itu, ia telah ditunjuk oleh ayahnya yang mulia sebagai imam.”*
Husain bin Muhammad Asy’ari dan Muhammad bin Yahya serta juga ada selain dari mereka mengatakan, “Ahmad bin Ubaidillah bin Khaqan di Qum ditugaskan untuk menjaga harta pemerintahan dan mengambil pajak. Dia sangat memusuhi Ahlulbait. Pada suatu hari, di hadapannya, mencuat pembicaraan mengenai alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) dan mazhab mereka. Dia mengatakan, “Di wilayah Sarro Man Ra’a, aku tidak mengenal dan melihat seorang pun dari Bani Alawiyin yang dalam perilaku, waqar dan iffah, kedermawanan, serta kewibawaan di sisi Ahlulbait dan Bani Hasyim yang menyerupai Hasan bin Ali bin Muhammad, bahkan orang-orang tua sekalipun, para komandan tentara, dan para menteri lebih mendahulukannya daripada diri mereka sendiri.”
Ahmad bin Ubaidillah mengatakan, “Pada suatu hari, ayahku mengadakan suatu pertemuan umum dan aku berdiri. Tiba-tiba beberapa pegawai istana masuk dan bertanya, “Apakah Abu Muhammad bin Ridha ada di rumah.” Ayahku dengan suara keras berkata, “Ijinkanlah mereka masuk!” Aku heran menyaksikan pegawai istana begitu berani memanggil ayahku dengan kunyah karena hanya khalifah dan putra mahkota yang berhak menyebut dengan panggilan kunyah. Di saat itu, seorang pemuda yang masih sangat remaja dengan badannya yang tinggi serta rupanya yang tampan datang dengan begitu berwibawa. Ketika melihatnya, ayahku bangun dan maju beberapa langkah untuk menyambutnya. Aku tidak pernah melihat ayahku melakukan hal seperti itu untuk orang lain sebelumnya. Lalu ayahku memeluknya dan mencium wajahnya dan lantas mendudukkannya di tempatnya. Ayahku pun duduk di hadapannya dan sibuk berbicara. Di tengah hangatnya pembicaraan, berkali-kali ayahku mengatakan, “Aku korbankan diriku untukmu.”
Aku begitu takjub dengan perilaku ayahku. Di saat itulah, penjaga pintu istana datang dan berkata, “Muwaffiq Ahmad bin Mutawakkil Abbasi meminta ijin untuk masuk.” Adalah menjadi kebiasaan ayahku setiap kali Muwaffiq meminta ijin masuk, maka para penjaga pintu dan kepala tentara berdiri membentuk dua barisan hingga ia masuk dan keluar. Namun untuk saat itu, ayahku berkata kepada hadirin, “Bawalah Abu Muhammad ke barisan belakang sehingga Muwaffiq tidak melihatnya!”
Muwaffiq masuk dan kemudian ayahku memeluknya lalu keluar. Aku berkata kepada para penjaga pintu ayahku, “Siapakah orang yang begitu ayahku dan kalian hormati itu?” Mereka menjawab, “Seorang lelaki alawi yang namanya adalah Hasan bin Ali. Ia populer dengan nama Ibn Ridha.”
Dari ucapan ini, keherananku semakin bertambah. Ketika ayahku selesai melaksanakan shalat isya’ dan duduk sendirian untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kantor, aku menghampirinya. Ayahku berkata, “Ahmad! Apakah engkau ada keperluan?” Aku berkata, “Ya, Ayahku! Apabila engkau mengijinkan, siapakah lelaki yang pagi tadi datang dan sangat engkau hormati?” Ayahku mengatakan, “Lelaki itu adalah Imam kaum rafidzi (Syiah), Hasan bin Ali yang termashur dengan nama Ibn Ridha.” Setelah beberapa lama diam, ia berkata, “Anakku! Apabila khilafah ini diambil dari Bani Abbas, maka di antara Bani Hasyim, tiada yang layak mendudukinya selain dia karena, dalam keutamaan dan iffah, keterhindaran dari hawa nafsu, kezuhudan, ibadah, serta akhlak yang baik, tiada yang dapat menandinginya. Apabila melihat ayahnya, engkau akan menjumpainya sebagai orang yang sangat dermawan dan mulia.”
Ahmad berkata, “Aku marah terhadap perilaku ayahku dan aku memutuskan untuk mengkaji tentang Ibn Ridha. Dalam kaitan ini, aku berbicara dengan Bani Hasyim, para komandan tentara, pegawai birokrasi, hakim, para ahli fikih, serta lapisan masyarakat lainnya. Semuanya menaruh hormat kepadanya dan berbicara dengan baik serta melebihkannya daripada orang lain. Dengan cara ini, aku menyadari kebesaran dan keagungannya.”*

Muhammad bin Ismail Alawi berkata, “Abu Muhammad dipenjara di sisi Ali bin Autamas yang merupakan musuh Ahlulbait dan Ali bin Abi Thalib. Dikatakan kepada Ibn Autamas, “Berbuatlah kepada Abu Muhammad seperti ini dan seperti itu!” Beberapa hari setelah itu, Ali ibn Autamas berubah menjadi pecinta Ahlulbait dan sangat menghormati Abu Muhammad sehingga selalu menyebut-nyebutnya dengan kebaikan.”*
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Musa bin Ja’far berkata, “Sekelompok Bani Abbas pergi menemui Shalih bin Washif, penjaga penjara tempat Abu Muhammad ditahan dan mereka berkata, “Di penjara, jangan biarkan Abu Muhammad menjalin hari-harinya dengan nyaman. Namun, persulitlah dia!” Penjaga itu bertanya, “Apa yang harus kulakukan. Dua orang penjahat kutempatkan di selnya. Namun, keajaiban datang. beberapa hari kemudian, dua penjahat itu menjadi Ahli ibadah dan puasa bahkan mencapai tingkatan yang tinggi.”
Dua penjahat itu dipanggil dan mereka dibentak, “Celaka kalian! Mengapa kalian tidak mempersulit lelaki yang dipenjara ini?” keduanya berkata, “Apa yang harus kami katakan tentang lelaki yang setiap harinya berpuasa dan malamnya bertahajud dan beribadah? Tiada pernah ia berbicara dengan siapa pun dan ia tidak memiliki kesibukan kecuali beribadah. Ketika ia melihat kami, tubuh kami gemetar dan terciptalah suatu keadaan sehingga kami merasa tidak lagi memiliki diri kami ini.” Ketika mendengar ucapan ini, mereka berputus asa.”*
Abu Hasyim Ja’fari menegaskan, “Aku menulis sebuah surat kepada Abu Muhammad dan mengadu tentang sempitnya penjara dan betapa tersiksanya diriku dengan rantai dan gembok ini. Dalam jawabannya, ia menulis, “Hari ini, engkau akan shalat ashar di rumahmu sendiri.” Secara kebetulan, pada hari itu, aku telah dibebaskan dari penjara dan aku shalat zhuhur di rumahku sendiri. Dari segi kehidupan, aku benar-benar dalam kondisi sulit dan aku berniat untuk menjelaskannya di surat untuk Imam. Namun, aku merasa malu. Akan tetapi, ketika aku tiba di rumahku, Imam mengirim untukku seratus dinar dan menulis, ” Setiap kali memiliki keperluan, janganlah engkau malu dan mintalah kepadaku karena Insya Allah keperluanmu akan kupenuhi.”*
Muhammad bin Abi Zakfaran menukilkan dari ibu Abu Muhammad yang berkata, ” Pada suatu hari, Abu Muhammad berkata kepadaku, “Pada tahun 260, aku akan ditimpa sebuah kesulitan yang luar biasa.” Aku khawatir musibah besar itu benar-benar akan memukulku sehingga aku sangat sedih dan menangis. Kemudian Imam berkata, “Tidak ada jalan lain. Musibah itu akan terjadi dan janganlah ibu kehilangan kesabaran lalu mengeluh!”
Pada bulan Shafar tahun 260 Hijriah, ibu Abu Muhammad merasakan kecemasan yang luar biasa dan seringkali meninggalkan Madinah untuk mencari berita. Pada suatu hari, ibu Imam diberitahu bahwa Khalifah Muktamid telah menangkap Imam dan saudaranya, Ja’far. Muktamid secara terus menerus mencari tahu keadaan Imam dari para penjaga penjara dan dalam jawabannya, penjaga penjara mengatakan, “Ia selalu beribadah. Pada siang hari berpuasa dan di malam hari mendirikan shalat.”
Pada suatu hari, penjaga penjara kembali ditanya oleh Khalifah Muktamid tentang keadaan Imam dan penjaga penjara kembali menjelaskan keadaan yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Khalifah Muktamid berkata, “Pergilah dan bebaskan dia. Sampaikan salamku kepadanya dan katakan agar ia pulang ke rumahnya!”
Penjaga penjara berkata, “Manakala tiba di pintu penjara, aku menyaksikan sebuah keledai yang telah disiapkan untuk kendaraan Imam. Aku masuk ke dalam penjara dan melihat Imam yang mengenakan sepatu dan pakaian khususnya telah siap untuk keluar. Ketika melihatku, ia berdiri dan aku menyampaikan vonis pembebasannya. Ia keluar dari penjara dan menaiki kuda. Namun, ia tidak bergerak. Aku mengatakan, “Selagi saudaraku, Ja’far, belum bebas, aku tidak akan pergi. Pergilah dan katakan kepada Muktamid bahwa aku dan Ja’far keluar bersama. Apabila kami tidak pulang bersama, banyak sekali kesulitan yang akan terjadi. Penjaga penjara menyampaikan pesan Imam kepada Muktamid. Muktamid dalam jawabannya mengatakan, “Aku membebaskan Ja’far karena Anda. Walaupun aku memenjarakannya karena kejahatan yang dilakukan terhadap dirinya dan juga engkau.” Ja’far akhirnya dibebaskan dan mereka berdua pulang ke rumah bersama.”*
Telah dinukilkan bahwa Bahlul melihat Imam Hasan Askari pada masa kecilnya menangis ketika sedang memperhatikan permainan anak-anak sebayanya. Bahlul mengira bahwa Imam tidak memiliki mainan untuk bermain dan karena itulah, ia menangis. Bahlul menghampiri Imam dan berkata, “Jangan engkau menangis! Aku akan membelikan untukmu mainan.” Imam berkata, “Wahai orang yang kurang akal! Kami tidak diciptakan untuk bermain.” Bahlul berkata, “Lalu untuk apa kita diciptakan.” Beliau menjawab, “Untuk ilmu dan ibadah.” Bahlul berkata, “Apa dalilnya?” Imam berkata, “Dalam al-Quran Allah berfirman, Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.[2]
Lalu Bahlul meminta nasehat beliau. Imam membacakan syair dan kemudian pingsan. Ketika siuman, Bahlul berkata, “Engkau kan masih kecil dan belum sampai usia taklif. Maka, apa yang engkau takutkan?” Imam berkata, “Aku melihat ibuku membakar kayu-kayu besar dengan ranting-ranting kecil. Aku takut kalau menjadi ranting kecil neraka.”*
Muhammad bin Ali bin Ibrahim bin Musa bin Ja’far mengatakan, “Kehidupan kami sulit. Maka, ayahku berkata, “Marilah kita bersama-sama menemui Abu Muhammad karena kedermawanan dan pemberiannya begitu termashur.” Aku berkata kepada ayahku, “Apakah engkau mengenalnya?” Ayahku menjawab, “Aku belum mengenalnya dan belum pernah melihatnya.”
Kami bergerak menuju Imam bersama ayahku. Di tengah perjalanan, ayahku berkata, “Aku membutuhkan lima ratus dirham: dua ratus dirham untuk pakaian, dua ratus dirham untuk menunaikan hutang, dan seratus dirham untuk biaya kehidupan.” Aku di dalam diriku mengatakan, “Seandainya aku juga diberi tiga ratus dirham: seratus dirham untuk membeli keledai, seratus dirham untuk keperluan kehidupan, dan seratus dirham untuk membeli pakaian. Lalu aku akan pergi ke Jabal.
Muhammad berkata, “Ketika kami tiba di rumah Imam bersama ayahku, seorang budak keluar dan berkata, “Ali bin Ibrahim dan putranya, Muhammad, agar masuk ke rumah.”
Ketika kami menjumpai Imam dan bersalaman dengannya, Imam berkata, “Wahai Ali! Mengapa engkau baru saja kemari?” Ayahku berkata, “Kami malu datang kemari dalam keadaan seperti ini.”
Tatkala keluar, budak beliau memberikan sebuah kantung kepada ayahku dan berkata, “Ada lima ratus dirham di kantung ini: dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membayar

hutang, dan seratus dirham untuk keperluan hidup. Setelah itu, sebuah kantung juga diberikan kepadaku dan dikatakan, “Ada tiga ratus dirham di kantung itu: seratus dirham untuk membeli keledai dan dua ratus dirham untuk keperluan hidup. Janganlah engkau pergi ke Jabal tetapi pergilah ke Saura’!”
Muhammad membatalkan niatnya untuk pergi ke Jabal tetapi ke Saura’ dan menikah di sana. Setelah beberapa lama, dikirimlah seratus dinar dari pihak Imam Hasan untuknya.”*

Ilmu Pengetahuan Imam

Imam Hasan Askari seperti juga ayah-ayahnya yang mulia mengetahui semua ilmu, hukum, serta peraturan yang berkaitan dengan agama. Sumber ilmu agama dan imamah berada di tangan Imam. Imam memiliki potensi ishmah dan dukungan penjagaan Ilahi. Penyebaran dan pemeliharaan ilmu agama merupakan tanggung jawab Imam. Imam sama sekali tidak pernah merasa enggan untuk melaksanakan kewajiban sucinya itu.
Hanya saja para imam itu tidaklah hidup dalam kondisi dan situasi yang sama. Setiap imam menjalankan kewajibannya, seperti menyebarluaskan pengetahuan agama dan makrifah syariat sesuai dengan fasilitas yang dimiliki masing-masing, yang tentunya berkaitan dengan kondisi dan keadaan yang berbeda. Ilmu dan makrifah yang dinukil oleh Imam Hasan Askari, sayangnya, tidaklah sebanyak yang dinukil oleh ayah-ayahnya, khususnya Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq.
Mengapa demikian. Untuk menjawabnya, perlulah diperhatikan dua hal berikut ini.
Pertama, periode imamah beliau relatif singkat, yakni tidak lebih dari enam tahun. Kedua, Imam melewati priode enam tahun itu di Sarro Man Ra’a, sebuah wilayah hunian para tentara. Oleh sebab itu, kehidupan Imam diteropong oleh para petugas mata-mata, baik secara terang-terangan maupun rahasia. Pada dasarnya, ucapan dan perilaku Imam serta orang-orang yang berkunjung kepadanya benar-benar terbatas dan terawasi. Oleh karena itulah -dan juga oleh sebab-sebab lainnya, hadis-hadis yang diriwayatkan dari Imam tidaklah sebanyak yang diriwayatkan dari ayah-ayahnya.
Walaupun demikian, tidak sedikit hadis yang dinukil dari Imam Hasan Askari dalam berbagai bab, seperti tauhid, nubuwah, ma’ad, imamah, akhlak, nasehat, dan berbagai bab fikih serta yang ada dalam kitab hadis. Namun demikian, kami memberikan kemungkinan bahwa banyak sekali hadis yang dikeluarkan dari Imam Hasan Askari dan imam-imam lainnya telah hilang di sepanjang sejarah sehingga tidak sampai kepada kita. Di dalam masa yang pendek, yakni enam tahun, dengan semua pembatasan yang ada, Imam telah mendidik banyak murid dan perawi yang nama-nama mereka telah terekam dalam kitab-kitab yang terkait.*

Catatan kaki 

[2] QS. al-Mukminun: 115.

Leave a comment